Sabtu, 09 November 2019

ASPEK HUKUM, KONTRAK FIDIC, KLAIM KONTRAK DAN SENGKETA


ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN



Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:

  1. Keperdataan: menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
  2. Administrasi Negara: menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
  3. Ketenagakerjaan: menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
  4. Pidana: menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.

Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang diperkenankan.

KONTRAK FIDIC

Kontrak FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari yurisdiksi yang berbeda.

The International Federation of Consulting Engineers, lebih dikenal sebagai FIDIC, dibentuk pada 1913, di Belgia. Hari ini, FIDIC adalah badan perwakilan internasional terbesar global yang terbentuk dari asosiasi nasional insinyur konsultasi, yang berasal dari lebih dari 100 negara di seluruh dunia.[1] Bentuk standar pertama kontrak konstruksi FIDIC, dikenal sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957. Versi pertama dari FIDIC Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik yang itu sendiri dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh Institution of Civil Engineers.

Klaim merupakan sesuatu yang wajar bagi para pihak yg terikat dalam kontrak khususnya pada proyek konstruksi. Klaim merupakan representatif dari kepedulian pihak terhadap mewujudkan cita - cita kontrak yaitu tercapainya biaya, mutu dan waktu. Sehingga apabila ditemukan kondisi yang tidak sesuai dengan kondisi yg disepakati dalam kontrak, maka akan menimbulkan klaim.

Dalam kaidah berkontrak, kontrak yang dibuat harus dapat menjamin kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Kalau dalam istilah ekonomi, " pembeli adalah raja", maka raja harus dilayani sebaik mungkin, raja tidak pernah salah dan apabila dikaitan posisi raja sebagai orang yang memegang kekuasaan termasuk menentukan hukum benar salah, maka dalam kontrak hal tersebut tidak boleh terjadi.

Pada dasarnya kedua pihak yang bekontrak adalah mereka yang saling membutuhkan satu sama lain. Disisi pengguna jasa, mereka membutuhkan pihak yang dapat mewujudkan keinginan mereka sesuai dengan biaya, mutu dan waktu. Demikian pula disisi penyedia jasa, mereka membutuhkan pemasukan dari barang atau jasa yang mereka tawarkan.

Secara hukum, negara dalam hal ini pemerintah pusat bertanggung jawab atas persamaan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, sebagaimana termuat dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b UU No 2 Tahun  2017 Tentang  Jasa Konstruksi  berbunyi " terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa"

untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, pemerintah pusat memiliki kewenangan:

  1. mengembangkan sistem pemilihan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
  2. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan penyedia Jasa
  3. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan
  4. mengembangkan sistem kinerja penyedia Jasa dalampenyelenggaraan Jasa Konstruksi. 



Klaim dapat diajukan baik dari pihak penyedia jasa maupun pengguna jasa , namun yang paling penting ada kesungguhan dari kedua bela pihak yang terikat kontrak untuk menyelesaikan klaim tersebut.

  Dalam hal ini, apabila suatu klaim dari salah satu pihak tidak difasilitasi dengan baik, maka klaim tersebut akan menjadi masalah/ sengketa. Penyelesaian sengketa konstruksi diatur menurut UU No 2 Tahun  2017 Tentang  Jasa Konstruksi yaitu pada pasal 88. Secara umum adalah sebagai berikut :

  1. Para pihak yang bersengketa menyelesaikan permasalahan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa menempuh tahapan penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak.
  3. Apabila penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan sebagai berikut :

a.              Mediasi

b.             Konsiliasi

c.              Arbitrase



Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, para pihak dapat membentuk dewan sengketa . Dalam hal ini, pemerintah belum membentuk dewan sengketa yang keanggotaan dewan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesional dantidak menjadi bagian dari salah satu pihak.

Dengan belum dibentuknya dewan sengketa, biasanya pihak yang bersengketa akan menempuh jalur arbitrase, dimana di indonesia terdapat 2 badan arbitrase yang biasa menyelesaikan permasalahan sengketa konstruksi :

  1. BANI  (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
  2. BADAPSKI (Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Konstruksi)

Berdasarkan uraian sengketa konstruksi diatas, terlihat bahwa akan banyak waktu, pikiran, tenaga dan biaya yang akan dikeluarkan seandainya klaim tidak difasiltasi / diselesaikan dengan baik. Untuk dapat mewujudkan klaim yang baik, kedua pihak baik dari pihak penyedia jasa maupun pengguna jasa harus dapat memperhatian hal sebagai berikut :

  1. Pengajuan klaim harus merujuk pada tata cara pengajuan klaim pada kontrak
  2. Pengajuan klaim harus didasarkan pada klausa pada kontrak yang memungkinkan hal tersebut.
  3. Pengajuan klaim dapat diterima setelah adanya kelengkapan administrasi yg dinyatakan sah dan layak.

Pengajuan klaim dari salah satu pihak, harus merujuk pada ketentuan tata cara pengajuan klaim pada kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak merupakan hukum tertinggi perikatan kedua pihak, sehingga harus menjadi rujukan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini pengajuan klaim dari salah satu pihak harus dibuat secara resmi dan tertulis, dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti pihak yang ditujukan.



KLAIM KONTRAK

Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan klaim konstruksi dapat terjadi antar para pihak yang berkontrak. Tegasnya klaim mungkin saja datang dari pihak Penyedia Jasa kepada Pengguna Jasa atau sebaliknya. Jadi tidak benar bila klaim hanya datang dari pihak Pengguna Jasa atau sebaliknya hanya Pengguna Jasa yang boleh mengajukan klaim.

Disamping itu klaim dapat juga terjadi dari pihak lain diluar kontrak seperti Konsultan Pengawas/Perencana, para Sub Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa. Arti klaim sesungguhnya adalah permintaan/permohonan mengenai biaya, waktu dan atau kompensasi pelaksanaan diluar ketentuan tercantum dalam kontrak konstruksi. Jadi adalah suatu kekeliruan/salah pengertian yang menganggap klaim adalah suatu tuntutan. Memang benar klaim adakalanya berakhir dengan suatu tuntutan baik melalui suatu Badan Peradilan atau Lembaga Arbitrase apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan.

Pengajuan klaim dapat dengan berbagai cara dan yang paling sederhana berupa permintaan lisan sampai dengan permintaan yang disusun secara tertulis lengkap dengan data pendukungnya.

Para pihak didalam suatu kontrak konstruksi lebih menyukai pemecahan secara damai tanpa melalui Badan Peradilan. Mereka menginginkan terdapat keputusan yang cepat, karena penyelesaian melalui Pengadilan disamping memakan waktu dan biaya, permasalahannya semakin terbuka untuk umum. Penyelesaian melalui Arbitrase lebih disukai karena disamping waktu lebih pendek, para arbiter dapat dipilih yang profesional dan keputusannya adalah final dan mengikat para pihak. Upaya hukum dalam bentuk apapun bila telah keluar keputusan arbitrase tidak diperkenankan (berbeda dengan Pengadilan yang memungkinkan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali).



Kategori klaim:

Klaim dapat terjadi dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa atau sebaliknya. Berdasarkan hal ini klaim dapat dikategorikan dalam 2 hal yaitu

1.             Dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa berupa :

a.              Pengurangan nilai kontrak

b.             Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan

c.              Kompensasi atas kelalaian Penyedia Jasa

2.             Dari Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa berupa :

a.              Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan

b.             Tambahan kompensasi

c.              Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.



Sebab-sebab timbulnya Klaim

Sesungguhnya dalam Industri Jasa Konstruksi, klaim adalah suatu hal yang sangat wajar terjadi. Di negara Barat yang Industri Jasa Konstruksinya sudah berkembang dan para pelaku Industri Jasa Konstruksi menyadari betul arti sebuah klaim, maka hal ini menjadi biasa.

Sebagai ilustrasi, sewaktu bertugas di Saudi Arabia terasa asing dikuping sewaktu Pengguna Jasa menanyakan : “Do you have any claim to us ?”

Di Indonesia hampir tak pernah ada Pengguna Jasa yang bertanya seperti kejadian di Saudi Arabia tersebut.

Hal ini tak lain karena salah pengertian mengenai arti sesungguhnya dari klaim sehingga dianggap sesuatu yang “tabu”.

Jadi sebagaimana dengan perubahan pekerjaan, klaim dapat berasal dari mana saja. Walaupun ada beberapa sebab timbulnya klaim, tetapi hampir semuanya memiliki dasar dalam tindakan atau pengurangan dari salah satu pihak dalam kontrak namun dapat juga yang kurang sering terjadi seperti sebab-sebab dari pihak ketiga, tindakan/keinginan Tuhan atau hal lain yang menyebabkan pihak yang mengajukan klaim pihak yang mengajukan klaim menderita rugi.

Dalam pelatihan ini kita batasi sebab-sebab timbulnya klaim antara para pihak dalam suatu kontrak konstruksi yaitu antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa.

Dari pihak Pengguna Jasa

a.              Pekerjaan yang dilaksanakan Penyedia Jasa cacat atau kurang sempurna.

b.             Penyedia jasa terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak.

c.              Pemutusan kontrak

3.             Dari pihak Penyedia Jasa

a.           Kelambatan atau cacat informasi yang harus diserahkan Pengguna Jasa seperti gambar-gambar atau spesifikasi.

b.             Kelambatan atau cacat dari bahan atau peralatan yang harus disediakan Pengguna Jasa.

c.              Perubahan ketentuan-ketentuan, gambar-gambar atau spesifikasi teknis.

d.             Perubahan atau keadaan lapangan yang tidak diketahui

e.              Reaksi dari pengaruh pekerjaan yang berturutan.

f.           Larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan dari pelaksanaan proyek.

g.             Kontrak yang kurang jelas/perbedaan penafsiran.



Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah mengenai waktu dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan di ubah ketakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah maka tidak terlalu sulit untuk menghitung berapa tambahan biaya yang di minta Penyedia Jasa beserta tambahan waktu.

Namun terkadang Penyedia Jasa, di samping klaim yang di sebutkan tadi juga klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah.

Menghitung klaim biaya untuk hal ini tidaklah mudah.

Hal ini dapat di terangkan sebagai berikut : suatu pekerjaan yang tidak di rubah terpaksa (karena alasan teknis pelaksanaannya) di tunda pelaksanaannya karena ada pekerjaan lain yang berubah. Pekerjaan yang tidak berubah tadi seharusnya di kerjakan pada musim kemarau. Oleh karena terjadi penundaan maka pekerjaan ini terpaksa di laksanakan dalam musin hujan yang mengakibatkan menurunnya produktivitas dan perlu tambahan biaya untuk melindungi pekerjaan tersebut dari pengaruh cuaca (hujan).

Belum lagi kemungkinan terjadi kenaikan upah buruh karena musim hujan tambahan tenaga pengamanan, biaya administrasi dan overhead.



DISPUTE(SENGKETA)

Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi.



Penyebab sengketa konstruksi antara lain:

1.             Klaim tidak dilayani.

2.            Pengguna jasa tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan & tidak memiliki dana yang cukup.



Sengketa konstruksi terdiri dari 3 bagian:

1.             Sengketa pra konstruksi

2.             Sengketa tahap konstruksi

3.             Sengketa pasca konstruksi



Masalah-masalah yang sering dipersengketakan dalam bidang jasa konstruksi:

1.            Mangkraknya waktu pelaksanaan.

2.            Belum terbayarnya lahan.         

3.            Perubahan jadwal kerja.

4.            Construction changes.

5.            Cuaca buruk.

6.            Percepatan jadwal pembangunan.

7.            Changes orders.

8.            Kegagalan pembayaran oleh pemilik.

9.            Perbedaan gambar rencana dengan realita.

10.        Kenaikan harga material.

11.        Perubahan peraturan pemerintah.

12.        Kelemahan administrasi proyek.

13.        Penggunaan sebagian dari pekerjaaan belum serah terima.

14.        Miskomunikasi.



Sengketa dapat diselesaikan melalui beberapa cara:

1.             Pengadilan

2.             Arbitrase

3.             Alternatif penyelesaian sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi)



Penyelesaian melalui pengadilan

Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya penyelesaian sengketa, apabila upaya yang sudah dilakukan menemui jalan buntu. Pengadilan adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Pengadilan membutuhkan waktu paling lama untuk 30 hari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dari sejak hari penandatanganan.



Kekurangan yang tidak diminati oleh pelaku jasa konstruksi penyelesaian melalui pengadilan:

1.            Membutuhkan waktu lama.

2.            Biaya yang tidak sedikit.

3.            Para hakimnya hanya memiliki pengetahuan hukum

4.            Sifatnya terbuka



Penyelesaian melalui arbitrase

Arbitrase adalah sebuah perjanjian dimana pihak-pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan pihak orang-orang ketiga yang dipilih sendiri oleh ledua pihak.



Arbitrase dibagi menjadi 2, yaitu:

1.             Arbitrase Ad Hoc

-                 Arbitrase ini sering disebut sebagai arbitrase sukarela.

-                 Bersifat sementara/tidak permanen.

-                 Arbitrase ini tidak ada sebelum sengketa terjadi.

2.             Arbitrase Institusional

-                 Suatu instansi arbitrase yang bersifat permanen.

-                 Lengkap dengan arbiter, kepengurusan, tempat sidang, peraturan prosedur yang baku.



Lembaga arbitrase di Indonesia diantaranya adalah BANI ,dan BAMUI

Lembaga arbitrase internasional diantaranya adalah ICC, ICSID, DAN UNCITRAL



Kelebihan Arbitrase
Kekurangan Arbitrase
Waktu prosedur dan biaya lebih efisien. Putusan bersifat final dan tertutup untuk upaya hokum banding atau kasasi.
Relatif sulit untuk membentuk Majlis Arbitrase apabila Lembaga Arbitrase Ad Hoc.
Bebas dari oconom menentukan rules dan instansi arbitase.
Putusan Arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela.
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat.
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme Arbitrase secara efektif.



Alternatif penyelesaian sengketa

Cara alternatif adalah cara termurah, termudah dan tercepat dibanding denganarbitrase & pengadilan dan menutup kemungkinan sengketa ini diketahui oleh orag luar. Peraturan yang mengatur ada dalam UU RI No. 30/1999.



Ada 3 cara dalam proses alternatif, yaitu:

1.             Mediasi

2.             Konsoliasi

3.             Negosiasi



Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui seorang penengah atau mediator yang ditunjuk oleh para pihak. Mediator tidak memutuskan sengketa tapi membimbing para pihak untuk mencari cara penyelesaian. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara, batas waktu, biaya, dsb.

Konsoliasi adalah langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan dilaksanakan, dikecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh suatu putusan yang mempunyai kekuatan hokum tetap.

Negosiasi adalah cara penyelesaian dengan masing-masing menunjuk juru runding/negosiator. Hasil kesepakatan juru runding/negosiator dituangkan secara tertulis dan tidak ada penengah diantara juru ruding.

Analisa Kasus Sengketa Tanah Meruya Selatan (Jakarta Barat)

 


Proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak menghasilkan keadilan yang diharapkan,bahkan justru menimbulkan ketidak adilan baru. Sehingga tidak ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya waktu sehingga problema baru bermunculan.

Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah, sederhana, dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki asas yang menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai kredibilitas lembaga peradilan.

Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban atau dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya bukan sekedar keperdataan.

Perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana umum: sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks pertokoan.

Pemerintah daerah dan BPN dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik terutama pemberian setifikat dalam jumlah massal seharusnya benar – benar memperhatikan aspek – aspek apakah orang yang bersangkutan sudah sesuai menerima hak untuk memiliki sertifikat Hak Milik atau belum. Hal ini berkaitan dengan dampak pemberian sertifikat Hak Milik kepada orang yang tidak semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA seharusnya sertifikat Hak Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan sertifikat Hak Milik tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama.

Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.

Pada kasus sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama melalui musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional.

Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat ditempuh seperti gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukan), mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti antara PT. Portanigra denga Hdjuhri, mengajukan gugatan baru oleh para pihak yang merasa dirugikan dalam permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-haknya seyogianya warga melandasinya dengan surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.

Kasus Meruya memberi pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut, pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta pelaksanaannya yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.



Sumber : https://www.kompasiana.com/sasrizka13/58afa0f6e9afbd7e0df57773/analisa-kasus-sengketa-tanah-meruya-selatan-jakarta-barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar