ASPEK HUKUM DALAM
PEMBANGUNAN
Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
- Keperdataan: menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
- Administrasi Negara: menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
- Ketenagakerjaan: menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
- Pidana: menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai hukum kontrak
konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH
Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian
persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas
kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH
Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian
adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang
empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- Suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang diperkenankan.
KONTRAK FIDIC
Kontrak FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak
konstruksi internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering
digunakan dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk
pihak dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal
dari yurisdiksi yang berbeda.
The International Federation
of Consulting Engineers,
lebih dikenal sebagai FIDIC, dibentuk pada 1913, di Belgia. Hari ini, FIDIC
adalah badan perwakilan internasional terbesar global yang terbentuk dari
asosiasi nasional insinyur konsultasi, yang berasal dari lebih dari 100 negara
di seluruh dunia.[1] Bentuk standar pertama kontrak konstruksi FIDIC, dikenal
sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957. Versi pertama dari FIDIC
Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik yang itu sendiri
dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh Institution of
Civil Engineers.
Klaim merupakan sesuatu yang wajar bagi para pihak yg terikat dalam
kontrak khususnya pada proyek konstruksi. Klaim merupakan representatif dari
kepedulian pihak terhadap mewujudkan cita - cita kontrak yaitu tercapainya
biaya, mutu dan waktu. Sehingga apabila ditemukan kondisi yang tidak sesuai dengan
kondisi yg disepakati dalam kontrak, maka akan menimbulkan klaim.
Dalam kaidah berkontrak,
kontrak yang dibuat harus dapat menjamin kesetaraan dalam hak dan kewajiban.
Kalau dalam istilah ekonomi, " pembeli adalah raja", maka raja harus
dilayani sebaik mungkin, raja tidak pernah salah dan apabila dikaitan posisi
raja sebagai orang yang memegang kekuasaan termasuk menentukan hukum benar
salah, maka dalam kontrak hal tersebut tidak boleh terjadi.
Pada dasarnya kedua pihak
yang bekontrak adalah mereka yang saling membutuhkan satu sama lain. Disisi
pengguna jasa, mereka membutuhkan pihak yang dapat mewujudkan keinginan mereka
sesuai dengan biaya, mutu dan waktu. Demikian pula disisi penyedia jasa, mereka
membutuhkan pemasukan dari barang atau jasa yang mereka tawarkan.
Secara hukum, negara dalam
hal ini pemerintah pusat bertanggung jawab atas persamaan hak dan kewajiban
dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, sebagaimana termuat dalam Pasal 4 ayat 1
huruf b UU No 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi berbunyi
" terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan
kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa"
untuk mencapai tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, pemerintah pusat memiliki
kewenangan:
- mengembangkan sistem pemilihan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
- mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan penyedia Jasa
- mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan
- mengembangkan sistem kinerja penyedia Jasa dalampenyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Klaim dapat diajukan baik
dari pihak penyedia jasa maupun pengguna jasa , namun yang paling penting ada
kesungguhan dari kedua bela pihak yang terikat kontrak untuk menyelesaikan
klaim tersebut.
Dalam hal ini, apabila
suatu klaim dari salah satu pihak tidak difasilitasi dengan baik, maka klaim
tersebut akan menjadi masalah/ sengketa. Penyelesaian sengketa konstruksi
diatur menurut UU No 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi yaitu
pada pasal 88. Secara umum adalah sebagai berikut :
- Para pihak yang bersengketa menyelesaikan permasalahan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
- Apabila musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa menempuh tahapan penyelesaian sengketa yang tercantum dalam kontrak.
- Apabila penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan sebagai berikut :
a.
Mediasi
b.
Konsiliasi
c.
Arbitrase
Selain upaya penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, para pihak dapat
membentuk dewan sengketa . Dalam hal ini, pemerintah belum membentuk dewan sengketa
yang keanggotaan dewan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesional dantidak
menjadi bagian dari salah satu pihak.
Dengan belum dibentuknya
dewan sengketa, biasanya pihak yang bersengketa akan menempuh jalur arbitrase,
dimana di indonesia terdapat 2 badan arbitrase yang biasa menyelesaikan
permasalahan sengketa konstruksi :
- BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
- BADAPSKI (Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Konstruksi)
Berdasarkan
uraian sengketa konstruksi diatas, terlihat bahwa akan banyak waktu, pikiran,
tenaga dan biaya yang akan dikeluarkan seandainya klaim tidak difasiltasi /
diselesaikan dengan baik. Untuk dapat mewujudkan klaim yang baik, kedua pihak
baik dari pihak penyedia jasa maupun pengguna jasa harus dapat memperhatian hal
sebagai berikut :
- Pengajuan klaim harus merujuk pada tata cara pengajuan klaim pada kontrak
- Pengajuan klaim harus didasarkan pada klausa pada kontrak yang memungkinkan hal tersebut.
- Pengajuan klaim dapat diterima setelah adanya kelengkapan administrasi yg dinyatakan sah dan layak.
Pengajuan klaim dari salah
satu pihak, harus merujuk pada ketentuan tata cara pengajuan klaim pada
kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak merupakan hukum tertinggi perikatan kedua
pihak, sehingga harus menjadi rujukan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini
pengajuan klaim dari salah satu pihak harus dibuat secara resmi dan tertulis,
dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti pihak yang ditujukan.
KLAIM KONTRAK
Faktor-faktor
yang dapat mengakibatkan klaim konstruksi dapat terjadi antar para pihak yang
berkontrak. Tegasnya klaim mungkin saja datang dari pihak Penyedia Jasa kepada
Pengguna Jasa atau sebaliknya. Jadi tidak benar bila klaim hanya datang dari
pihak Pengguna Jasa atau sebaliknya hanya Pengguna Jasa yang boleh mengajukan
klaim.
Disamping
itu klaim dapat juga terjadi dari pihak lain diluar kontrak seperti Konsultan
Pengawas/Perencana, para Sub Penyedia Jasa terhadap Pengguna Jasa atau Penyedia
Jasa. Arti klaim sesungguhnya adalah permintaan/permohonan
mengenai biaya, waktu dan atau kompensasi pelaksanaan diluar ketentuan
tercantum dalam kontrak konstruksi. Jadi adalah suatu kekeliruan/salah
pengertian yang menganggap klaim adalah suatu tuntutan. Memang benar klaim
adakalanya berakhir dengan suatu tuntutan baik melalui suatu Badan Peradilan
atau Lembaga Arbitrase apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan.
Pengajuan
klaim dapat dengan berbagai cara dan yang paling sederhana berupa permintaan
lisan sampai dengan permintaan yang disusun secara tertulis lengkap dengan data
pendukungnya.
Para pihak didalam
suatu kontrak konstruksi lebih menyukai pemecahan secara damai tanpa melalui
Badan Peradilan. Mereka menginginkan terdapat keputusan yang cepat, karena
penyelesaian melalui Pengadilan disamping memakan waktu dan biaya,
permasalahannya semakin terbuka untuk umum. Penyelesaian melalui Arbitrase
lebih disukai karena disamping waktu lebih pendek, para arbiter dapat dipilih
yang profesional dan keputusannya adalah final dan mengikat para pihak. Upaya
hukum dalam bentuk apapun bila telah keluar keputusan arbitrase tidak
diperkenankan (berbeda dengan Pengadilan yang memungkinkan banding, kasasi atau
Peninjauan Kembali).
Kategori klaim:
Klaim dapat
terjadi dari Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa atau sebaliknya. Berdasarkan
hal ini klaim dapat dikategorikan dalam 2 hal yaitu
1.
Dari Pengguna Jasa terhadap
Penyedia Jasa berupa :
a.
Pengurangan nilai kontrak
b.
Percepatan waktu
penyelesaian pekerjaan
c.
Kompensasi atas kelalaian
Penyedia Jasa
2.
Dari Penyedia Jasa terhadap
Pengguna Jasa berupa :
a.
Tambahan waktu
pelaksanaan pekerjaan
b.
Tambahan kompensasi
c.
Tambahan konsesi atas
pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
Sebab-sebab timbulnya Klaim
Sesungguhnya
dalam Industri Jasa Konstruksi, klaim adalah suatu hal yang sangat wajar
terjadi. Di negara Barat yang Industri Jasa Konstruksinya sudah berkembang dan
para pelaku Industri Jasa Konstruksi menyadari betul arti sebuah klaim,
maka hal ini menjadi biasa.
Sebagai
ilustrasi, sewaktu bertugas di Saudi Arabia terasa asing dikuping
sewaktu Pengguna Jasa menanyakan : “Do you have any claim to us ?”
Di
Indonesia hampir tak pernah ada Pengguna Jasa yang bertanya seperti kejadian
di Saudi Arabia tersebut.
Hal ini
tak lain karena salah pengertian mengenai arti sesungguhnya dari klaim sehingga
dianggap sesuatu yang “tabu”.
Jadi
sebagaimana dengan perubahan pekerjaan, klaim dapat berasal dari mana saja.
Walaupun ada beberapa sebab timbulnya klaim, tetapi hampir semuanya memiliki
dasar dalam tindakan atau pengurangan dari salah satu pihak dalam kontrak namun
dapat juga yang kurang sering terjadi seperti sebab-sebab dari pihak ketiga,
tindakan/keinginan Tuhan atau hal lain yang menyebabkan pihak yang mengajukan
klaim pihak yang mengajukan klaim menderita rugi.
Dalam
pelatihan ini kita batasi sebab-sebab timbulnya klaim antara para pihak dalam
suatu kontrak konstruksi yaitu antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa.
Dari pihak Pengguna Jasa
a.
Pekerjaan yang dilaksanakan
Penyedia Jasa cacat atau kurang sempurna.
b. Penyedia jasa terlambat
menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak.
c.
Pemutusan kontrak
3.
Dari pihak Penyedia Jasa
a. Kelambatan atau cacat
informasi yang harus diserahkan Pengguna Jasa seperti gambar-gambar atau
spesifikasi.
b.
Kelambatan atau cacat dari
bahan atau peralatan yang harus disediakan Pengguna Jasa.
c.
Perubahan
ketentuan-ketentuan, gambar-gambar atau spesifikasi teknis.
d.
Perubahan atau keadaan
lapangan yang tidak diketahui
e.
Reaksi dari pengaruh
pekerjaan yang berturutan.
f. Larangan metode kerja
tertentu termasuk kelambatan atau percepatan dari pelaksanaan proyek.
g.
Kontrak yang kurang
jelas/perbedaan penafsiran.
Klaim-klaim
konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah mengenai waktu
dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan di ubah ketakanlah
volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah maka tidak terlalu
sulit untuk menghitung berapa tambahan biaya yang di minta Penyedia Jasa
beserta tambahan waktu.
Namun
terkadang Penyedia Jasa, di samping klaim yang di sebutkan tadi juga klaim
sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah.
Menghitung
klaim biaya untuk hal ini tidaklah mudah.
Hal ini
dapat di terangkan sebagai berikut : suatu pekerjaan yang tidak di rubah
terpaksa (karena alasan teknis pelaksanaannya) di tunda pelaksanaannya karena
ada pekerjaan lain yang berubah. Pekerjaan yang tidak berubah tadi seharusnya
di kerjakan pada musim kemarau. Oleh karena terjadi penundaan maka pekerjaan
ini terpaksa di laksanakan dalam musin hujan yang mengakibatkan menurunnya
produktivitas dan perlu tambahan biaya untuk melindungi pekerjaan tersebut dari
pengaruh cuaca (hujan).
Belum lagi
kemungkinan terjadi kenaikan upah buruh karena musim hujan tambahan tenaga
pengamanan, biaya administrasi dan overhead.
DISPUTE(SENGKETA)
Sengketa
konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu
usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak
konstruksi.
Penyebab sengketa konstruksi
antara lain:
1.
Klaim tidak dilayani.
2. Pengguna jasa tidak
melaksanakan tugas-tugas pengelolaan & tidak memiliki dana yang cukup.
Sengketa
konstruksi terdiri dari 3 bagian:
1.
Sengketa pra konstruksi
2.
Sengketa tahap konstruksi
3.
Sengketa pasca konstruksi
Masalah-masalah
yang sering dipersengketakan dalam bidang jasa konstruksi:
1.
Mangkraknya waktu
pelaksanaan.
2.
Belum terbayarnya lahan.
3.
Perubahan jadwal kerja.
4.
Construction changes.
5.
Cuaca buruk.
6.
Percepatan jadwal
pembangunan.
7.
Changes orders.
8.
Kegagalan pembayaran oleh
pemilik.
9.
Perbedaan gambar rencana
dengan realita.
10.
Kenaikan harga material.
11.
Perubahan peraturan
pemerintah.
12.
Kelemahan administrasi
proyek.
13.
Penggunaan sebagian dari
pekerjaaan belum serah terima.
14.
Miskomunikasi.
Sengketa
dapat diselesaikan melalui beberapa cara:
1.
Pengadilan
2.
Arbitrase
3.
Alternatif penyelesaian
sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi)
Penyelesaian
melalui pengadilan
Penyelesaian melalui pengadilan merupakan upaya penyelesaian
sengketa, apabila upaya yang sudah dilakukan menemui jalan buntu. Pengadilan
adalah jalan terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Pengadilan membutuhkan
waktu paling lama untuk 30 hari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dari
sejak hari penandatanganan.
Kekurangan
yang tidak diminati oleh pelaku jasa konstruksi penyelesaian melalui
pengadilan:
1.
Membutuhkan waktu lama.
2.
Biaya yang tidak sedikit.
3.
Para hakimnya hanya memiliki
pengetahuan hukum
4.
Sifatnya terbuka
Penyelesaian
melalui arbitrase
Arbitrase adalah sebuah perjanjian dimana pihak-pihak yang
bersengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan pihak
orang-orang ketiga yang dipilih sendiri oleh ledua pihak.
Arbitrase
dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Arbitrase Ad Hoc
-
Arbitrase ini sering disebut
sebagai arbitrase sukarela.
-
Bersifat sementara/tidak
permanen.
-
Arbitrase ini tidak ada
sebelum sengketa terjadi.
2.
Arbitrase Institusional
-
Suatu instansi arbitrase
yang bersifat permanen.
-
Lengkap dengan arbiter,
kepengurusan, tempat sidang, peraturan prosedur yang baku.
Lembaga
arbitrase di Indonesia diantaranya adalah BANI ,dan BAMUI
Lembaga
arbitrase internasional diantaranya adalah ICC, ICSID, DAN UNCITRAL
Kelebihan Arbitrase
|
Kekurangan Arbitrase
|
Waktu prosedur dan biaya lebih efisien. Putusan bersifat
final dan tertutup untuk upaya hokum banding atau kasasi.
|
Relatif sulit untuk membentuk Majlis Arbitrase apabila
Lembaga Arbitrase Ad Hoc.
|
Bebas dari oconom menentukan rules dan instansi arbitase.
|
Putusan Arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif
dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan
sukarela.
|
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat.
|
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat
penerapan prosedur dan mekanisme Arbitrase secara efektif.
|
Alternatif
penyelesaian sengketa
Cara alternatif adalah cara termurah, termudah dan tercepat
dibanding denganarbitrase & pengadilan dan menutup kemungkinan sengketa ini
diketahui oleh orag luar. Peraturan yang mengatur ada dalam UU RI No. 30/1999.
Ada 3 cara
dalam proses alternatif, yaitu:
1.
Mediasi
2.
Konsoliasi
3.
Negosiasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui seorang penengah
atau mediator yang ditunjuk oleh para pihak. Mediator tidak memutuskan sengketa
tapi membimbing para pihak untuk mencari cara penyelesaian. Tidak ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tata cara, batas waktu, biaya, dsb.
Konsoliasi adalah langkah awal perdamaian sebelum sidang
peradilan dilaksanakan, dikecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah
memperoleh suatu putusan yang mempunyai kekuatan hokum tetap.
Negosiasi adalah cara penyelesaian dengan masing-masing
menunjuk juru runding/negosiator. Hasil kesepakatan juru runding/negosiator
dituangkan secara tertulis dan tidak ada penengah diantara juru ruding.
Analisa Kasus Sengketa Tanah Meruya Selatan (Jakarta Barat)
Proses sengketa tanah untuk
mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak menghasilkan keadilan
yang diharapkan,bahkan justru menimbulkan ketidak adilan baru. Sehingga tidak
ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya waktu
sehingga problema baru bermunculan.
Putusan pengadilan
seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah, sederhana, dan
mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki asas
yang menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan
dapat mencederai kredibilitas lembaga peradilan.
Pihak ketiga yakni warga
yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang asli harus
beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa)
seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban
atau dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan
yang sifatnya bukan sekedar keperdataan.
Perlu dilakukan penelitian
apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai ketentuan, siapakah
yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga dilakukan penyelesaian atas
tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana umum:
sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks pertokoan.
Pemerintah daerah dan BPN
dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik terutama pemberian setifikat dalam jumlah
massal seharusnya benar – benar memperhatikan aspek – aspek apakah orang yang
bersangkutan sudah sesuai menerima hak untuk memiliki sertifikat Hak Milik atau
belum. Hal ini berkaitan dengan dampak pemberian sertifikat Hak Milik kepada
orang yang tidak semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA seharusnya
sertifikat Hak Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan
sertifikat Hak Milik tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama.
Dalam hal ini terlihat
kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang
masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus
sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996
tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007
baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya
sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada
mafia tanah yang terlibat.
Pada kasus sengketa tanah
meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama melalui musyawarah
mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian
yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional.
Dalam menyelesaikan kasus
sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat ditempuh seperti gugatan
perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah dilakukan),
mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang bersengketa seperti
antara PT. Portanigra denga Hdjuhri, mengajukan gugatan baru oleh para pihak
yang merasa dirugikan dalam permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan
hak-haknya seyogianya warga melandasinya dengan surat-surat yang kuat
(sertifikat), batas-batas tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta
tidak terkena sengketa.
Kasus Meruya memberi
pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-larut, pentingnya
sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta
pelaksanaannya yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan
dan lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.
Sumber : https://www.kompasiana.com/sasrizka13/58afa0f6e9afbd7e0df57773/analisa-kasus-sengketa-tanah-meruya-selatan-jakarta-barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar